Rasulullah saw bersabda: “Apabila
umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam;
dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka
akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci,
maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.”
"Hampir
tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu,
bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka."
Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada
hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu
sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana
buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari
hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit
"al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?"
Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Al-Quran dan Kehancuran Peradaban
Beberapa
ayat al-Quran memberikan penjelasan tentang kehancuran suatu bangsa.
Penjelasan al-Quran ini sangatlah penting untuk menjadi pelajaran,
khususnya bagi kaum Muslimin, agar mereka tidak mengulang kembali
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh umat terdahulu, yang dapat
menghancurkan peradaban mereka.
Allah SWT berfirman:
“Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96)
Maka
apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka
ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).
Dan
jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati
Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’:16)
Ayat-ayat
dalam al-Quran yang menjelaskan tentang kehancuran suatu negeri itu
bercerita, bahwa kehancuran suatu kaum berhubungan dengan hal-hal: (1)
sikap kaum yang melupakan peringatan Allah SWT, sehingga mereka lupa
diri dan hidupnya dihabiskan untuk sekedar mencari kesenangan demi
kesenangan (hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 24. (2)
tindakan elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah SWT
dan membuat kerusakan di muka bumi. Apabila di dalam suatu peradaban
sudah tampak dominan adanya para pembesar, tokoh masyarakat, orang-orang
kaya yang bergaya hidup mewah, atau sesiapa saja yang bermewah-mewah
dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran peradaban itu sudah dekat.
Akan
tetapi, dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran peradaban atau
bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman
kepada Allah SWT sudah rusak, maka secara otomatis pula akan terjadi
pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah SWT. Rasulullah saw berkata:
“Apabila
perzinahan dan riba sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri
itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR Thabrani dan al-Hakim).
Dalam
sejarah manusia, berbagai kehancuran peradaban di muka bumi sudah
begitu banyak terjadi. Dan Allah SWT menganjurkan kaum Muslimin agar
mengambil pelajaran (hikmah) dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut. “Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana hasilnya orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul Allah SWT) (QS an-Nahl:36)
Sebagai
misal, Kaum ‘Ad, telah dihancurkan oleh Allah SWT karena berlaku
takabbur dan merasa paling berkuasa dan paling kuat. Mereka merasa tidak
ada lagi yang dapat mengalahkan mereka, sehingga mereka berkata: “Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” (QS
Fusshhilat:15). Begitu juga kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrudz,
dan sebagainya. Di masa Rasuullah saw, kaum Muslim yang jumlahnya sangat
besar dan berlipat-lipat daripada kaum kuffar, hampir saja dikalahkan
dalam Perang Hunain (QS at-Taubah:25).
Sejarah
juga mencatat, bagaimana Peradaban Islam di Spanyol yang sangat agung
dan sudah bertahan selama 800 tahun (711-1492) dapat dihancurkan dan
akhirnya kaum Muslimin dimusnahkan dari bumi Spanyol. S.M. Imamuddin
menyebutkan beberapa faktor penyebab kehancuran peradaban Islam di
Spanyol. Yang terpenting adalah adanya perpecahan dan kecemburuan antar
suku. Bahkan ada beberapa penguasa Muslim di Spanyol, seperti Ma’mun
dari Toledo dan Dinasti Nasrid, mendapatkan kekuasaan dengan bantuan
kekuatan Kristen untuk menghancurkan kekuatan Muslim lainnya.1
Sejarah jatuhnya Palestina ke tangan Zionis Yahudi juga boleh dijadikan
pelajaran bagi kaum Muslimin. Bagaimana suatu kaum Yahudi yang
minoritas dari segi jumlah tetapi dapat mengalahkan kaum Muslim yang
sangat besar.
Kehancuran
dan kejatuhan berbagai kaum, negeri, bangsa, dan peradaban, inilah yang
sepatutnya direnungkan secara mendalam dan sungguh-sungguh oleh kaum
Muslimin, khususnya para ulama dan cendekiawan Muslim di wilayah
Peradaban Melayu. Apakah gejala-gejala kehancuran suatu negeri atau
peradaban seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan pernah terjadi
dalam sejarah manusia sudah ditemukan dalam wilayah peradaban Melayu?
Kalau gejala-gejala itu sudah ada, bagaimana cara menghindarkannya?
Yang jelas, jatuh bangunnya suatu peradaban, pada dasarnya tergantung pada kondisi manusia-manusia dalam peradaban itu sendiri. Kekalahan dan kehancuran suatu peradaban adalah disebabkan oleh tindakan mereka sendiri, yang menciptakan ”kondisi layak kalah” (al-qabiliyyah lil-hazimah). Allah SWT menegaskan:
”Yang
demikian itu karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang
telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sampai mereka mengubah apa
yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS al-Anfal:53).
Kebangkitan Islam: Belajar dari Kasus Perang Salib
Belum lama ini buku Hakadza Zhahara Jīlu Shalahuddin wa Hakadza ’Ādat al-Quds karya Dr. Majid Irsan al-Kilani diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.2
Buku ini menarik, terutama dari sudut pandang kebangkitan sebuah
peradaban. Penerjemah buku ini, yang merupakan alumni Universitas Islam
Madinah, menceritakan, bahwa dosen pembimbing mereka, Dr. Ghazi bin
Ghazi al-Muthairi, adalah yang mengenalkan dan meminta mereka membaca
buku ini.
Buku ini menceritakan bagaimana kaum Muslimin mampu bangkit dari keterpurukan selama sekitar 50 tahun. Titik
balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim
pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zanki, ayah Nur al-Din
Zanki. Dua tahun sesudah itu, Zanki wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur
al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad,
dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 3
Tahun
1095 Perang Salib dimulai. Tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan
pasukan Salib. Meskipun memiliki negara dan pemimpin (khalifah), umat
Islam berada dalam kondisi yang sangat terpuruk. Sekitar 88 tahun
kemudian tampillah pahlawan Islam terkenal, Shalahuddin al-Ayyubi, yang
berhasil membebaskan kembali al-Aqsha dari kekuasaan pasukan Salib, pada
tahun 1187. Buku ini memaparkan data-data, bahwa Shalahudin bukanlah
pemain tunggal yang ”turun dari langit”. Tetapi, dia adalah produk
sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat.
Dua ulama besar yang disebut berjasa besar dalam menyiapkan generasi
baru itu adalah Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani.
Menurut
Dr. Majid Irsan al-Kilani, dalam melakukan upaya perubahan umat yang
mendasar, al-Ghazali lebih menfokuskan pada upaya mengatasi masalah
kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah, al-Ghazali
mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha mengatasinya,
ketimbang menuding-nuding musuh. Menurut al-Ghazali,
masalah yang paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum Muslim
yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak
menolak perubahan pada aspek politik dan militer, tetapi yang dia
tekankan adalah perubahan yang lebih mendasar, yaitu perubahan
pemikiran, akhlak, dan perubahan diri manusia itu sendiri. Untuk
itu, al-Ghazali melakukan perubahan dimulai dari dirinya sendiri
dahulu, kemudian baru mengubah orang lain. Kata penulis buku ini:
”Al-Ghazali
lebih menfokuskan usahanya untuk membersihkan masyarakat muslim dari
berbagai penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan pentingnya
mempersiapkan kaum Muslim agar mampu mengemban risalah Islam kembali
sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok bumi dan pilar-pilar iman
dan kedamaian dapat tegak dengan kokoh.” 4
Melalui
kitab-kitab yang ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara
mendalam, al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenahi
pertama dari umat adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Oleh sebab itu,
kitabnya yang terkenal dia beri nama Ihya’ Ulumuddin. Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dalam bentuk ’qital’ dengan baik. Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan
berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta,
dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang
seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara
komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menekankan pentingnya masalah ilmu dan akhlak. Ia membuka Kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”
dan sangat menekankan pentingnya aktivitas ’amar ma’ruf nahi munkar’.
Aktivitas “amal ma’ruf dan nahi munkar”, kata al-Ghazali, adalah
kutub terbesar dalam urusan agama. Ia adalah sesuatu yang penting, dan
karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika aktivitas ‘amar
ma’ruf nahi munkar’ hilang, maka syiar kenabian hilang,
agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu
negeri akan binasa. Begitu juga umat secara keseluruhan. 5
Aktivitas
al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap
berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan
kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali
seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat
itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan
saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu
diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar. Tentu, tahap
kebangkitan dan pembenahan jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui
pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan
keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan
juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang
salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?
Rasulullah saw bersabda: “Termasuk diantara perkara yang aku
khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam
kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR
Thabrani dan Ibn Hibban).
Jadi,
dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif
terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat
Islam menghadapi berbagai masalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan
sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara
proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu
juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin,
dengan makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia
seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu
dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan
pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan proporsinya.
Al-Ghazali
dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama
dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu,
sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya.
Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama
ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan
Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya
satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang
memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw:
Bahwasanya
Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia.
Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama.
Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih
orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu
ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan
menyesatkan. (HR Muslim).
Sepanjang
sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan
konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya
dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama
jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali,
dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah. Karena
itulah, kerusakan dalam bidang keilmuan harus mendapatkan perhatian dari
umat Islam. Apalagi jika kerusakan ilmu itu terjadi di jajaran
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diharapkan menjadi pusat
perkaderan ulama dan pemimpin umat. 6
Penutup
Dari
hasil kajiannya terhadap gerakan kebangkitan umat di era Perang Salib,
Dr. al-Kilani menyimpulkan, bahwa yang pertama kali harus dilakukan
adalah perubahan dalam diri manusia itu sendiri. ”Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah kondisi yang ada pada satu kaum, sehingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS ar-Ra’d:11). Nabi saw juga menyatakan: ”Sesungguhnya
di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka
baiklah seluruh anggota tubuh. Namun, jika ia rusak, maka rusaklah
seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, itu adalah qalb.” (HR Muslim). Era
kejayaan dan kekuatan sepanjang sejarah Islam tercipta ketika terjadi
kombinasi dua unsur, yaitu unsur keikhlasan dalam niat dan kemauan serta
unsur ketepatan dalam pemikiran dan perbuatan. 7
Jika
strategi ini direfleksikan dalam perjuangan umat Islam Indonesia, maka
sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan introspeksi terhadap
kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka, terutama para elite dan
lembaga-lembaga perjuangannya. Harus dilakukan evaluasi total terhadap
kondisi internal umat Islam, khususnya mendiagnosa penyakit yang sangat
membahayakan umat dan telah menghancurkan umat terdahulu, yaitu sikap hubbud dunya,
fanatisme kelompok, dan kerusakan ilmu. Introspeksi dan koreksi
internal ini jauh lebih penting dilakukan dibandingkan meneliti kondisi
faktor eksternal, sehingga ’kondisi layak terbelakang dan kalah’ (al-qabiliyyah lit-takhalluf wa al-hazimah) bisa dihilangkan.
Kita
bisa melakukan evaluasi internal, apakah para elite dan lembaga-lembaga
pendidikan Islam sudah menerapkan profesionalitas dalam pendidikan
mereka? 8
Apakah tradisi ilmu dalam Islam sudah berkembang di kalangan para
profesor, dosen-dosen, dan guru-guru bidang keislaman? Apakah konsep
ilmu dalam Islam sudah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam? 9
Apakah para pelajar mencari ilmu untuk mencari dunia atau untuk
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah? Apakah budaya kerja keras dan sikap
’zuhud’ terhadap dunia sudah diterapkan para elite umat? Apakah ashabiyah (fanatisme kelompok) masih mewarnai aktivitas umat? Pada
tataran keilmuan, bisa diteliti, apakah sudah tersedia buku-buku yang
mengajarkan Islam secara benar dan bermutu tinggi pada setiap bidang
keilmuan?
Semua ini membutuhkan kerja yang berkualitas, kerja keras, kesabaran, ketekunan, kerjasama berbagai potensi umat, dan waktu yang panjang. Karena
itu, disamping berbicara tentang bagaimana membangun masa depan
Indonesia yang ideal, yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi
kondisi internal umat Islam dan lembaga-lembaga dakwahnya, agar menjadi
sosok-sosok dan lembaga yang bisa diteladani oleh umat manusia.
Jadi,
tugas umat Islam bukan hanya menunggu datangnya pemimpin yang akan
mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat Islam dituntut untuk bekerja
keras dalam upaya membangun satu generasi baru yang akan melahirkan
pemimpin-pemimpin berkualitas ’Salahuddin al-Ayyubi’. Dan ini tidak
mungkin terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia –
terutama lembaga-lembaga dakwah dan pendidikannya – amat sangat serius
untuk membenahi konsep ilmu dan para ulama atau cendekiawannya. Dari
sinilah diharapkan lahir satu generasi baru yang tangguh (khaira ummah): berilmu tinggi dan beraklak mulia, yang mampu membawa panji-panji Islam ke seluruh penjuru dunia.
Jika generasi baru itu telah lahir, maka akan lahirlah sebuah peradaban baru, sebagaimana pernah terjadi di masa-masa lalu. Wallahu a’lam. (Depok, 16 November 2007)
1 S.M. Imamuddin, A Political History of Muslim Spain, (Pakistan: S.M. Shahabuddin,1969), 321-323.
2 Judul dalam bahasa Indonesia adalah Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina (diterjemahkan oleh Asep Sobari Lc dan Amaluddin, Lc, MA). (Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, 2007).
3 Lihat juga Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, (Edinburg:Edinburg University Press, Ltd., 1999), 112-131. Hillenbrand mencatat tentang diskursus “the greater jihad” (jihad al-nafs) di masa Perang Salib: “The
concept of the spiritual struggle, the greater jihad, was well
developed by the time of the Crusade and any discussion of jihad in this
period should always take into account the spiritual dimension without
which the military struggle, the smaller jihad, is rendered hollow and
without foundation.” The twelfth-century mystic ’Ammar al-Bidlisi (d. between 590 and 604/1194 and 1207) analyzed the greater jihad, declaring that man’s lower soul (nafs) is the greatest enemy to be fought.” Abu Shama speaks of Nur al-Din in just these terms: “He conducts a double jihad against enemy and against his own soul.” (hal. 161).
4 Al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, hal. 78-79. Dalam bukunya, al-Kilani mengutip Ibn Katsir dalam Bidayah wal-Nihayah,
yang menggambarkan parahnya kondisi umat Islam saat itu. Umat dicekam
penyakit ashabiyah (fanatisme mazhab) yang parah, kerusakan pemikiran,
dan gaya hidup mewah pada kalangan elite. Gubernur Abu Nashr Ahmad bin
Marwan, seorang gubernur ketika itu, mengucurkan anggaran 200.000 dinar
dalam setiap acara hiburan yang digelarnya. Tahun 516 Hijriah, saat
Menteri Sultan al-Mahmud terbunuh, bertepatan dengan saat
istrinya keluar dari rumah dengan diiringi 100 pelayan dan
kendaraan-kendaraan terbuat dari emas. Padahal, pada saat yang sama,
banyak rakyat yang menderita kelaparan. Ketika pasukan Salib membantai
puluhan ribu kaum Muslim, sebagian ulama berusaha menggelorakan semangat
jihad kaum Muslim, tetapi gagal. Ada cerita yang menyebutkan, sebagian
pengungsi membawa tumpukan tulang manusia, rambut wanita, dan anak-anak,
korban kekejaman pasukan Salib, kepada khalifah dan para sultan. Ironisnya, Khalifah justru berkata: ”Biarkan aku sibuk dengan urusan yang lebih penting. Merpatiku, si Balqa’, sudah tiga hari menghilang dan aku belum melihatnya.” (hal. 49-65).
5 Allah SWT berfirman, yang artinya: “Telah
dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa
Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79). Jadi,
karena tidak melarang tindakan munkar diantara mereka, maka kaum Bani
Israel itu dikutuk oleh Allah. Rasulullah saw juga memperingatkan: “Tidaklah
dari satu kaum berbuat maksiat, dan diantara mereka ada orang yang
mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan
hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah). Juga, sabda beliau saw: “Hendaklah
kamu menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan
memberikan kekuasaan atasmu kepada orang-orang jahat diantara kamu, dan
kemudian orang-orang yang baik diantara kamu berdoa, lalu tidak
dikabulkan doa mereka itu.(HR al-Bazzar dan at-Thabrani).
6 Uraian lebih jauh tentang al-Ghazali dan Perang Salib, lihat Adian Husaini, Hegemoni Kisten-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: GIP, 2006), bagian Mukaddimah. Lebih jauh tentang bahaya kerusakan ilmu bisa dilihat, pada Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).
7 al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, 6-7. (Sebagai
perbandingan, tidak kalah pentingnya jika kita mengkaji kesuksesan
penyebaran dakwah Islam di wilayah Nusantara, khususnya di Tanah Jawa.
Para juru dakwah adalah para wali atau ulama yang bekerja keras dalam
mengubah kondisi masyarakat Indonesia, meskipun rakyat ketika itu
dipimpin oleh penguasa non-Muslim. Pada akhirnya, rakyat di wilayah itu
sendiri yang melahirkan pemimpin-pemimpin muslim, sehingga berdirilah
berbagai kerajaan Islam di wilayah ini. Maulana Malik Ibrahim, misalnya,
diperkirakan tiba di Jawa tahun 1399 M. Kerajaan Islam pertama di Jawa
(Demak) baru berdiri tahun 1478 M. Raja Demak pertama,
Raden Patah, adalah santri dari Sunan Ampel, yang tak lain adalah putra
dari Maulana Malik Irahim. Lihat, Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1981).
8
Secara umum, kondisi buku-buku Pelajaran Agama di sekolah saat ini
masih banyak mengandung kelemahan dan kekeliruan. Sekedar contoh, sebuah
buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 2 SMA keluaran sebuah penerbit di Bandung, justru merendahkan prestasi keilmuan para ulama di wilayah Nusantara: ”Dapat
dikatakan, bahwa ilmu-ilmu Islam yang berkembang pada masa itu,
hanyalah ilmu tasawuf dan tarekat, disamping ilmu fiqih dan tauhid
sebagai sekedar pelengkap ibadah semata. Para tokoh dan ulama yang
muncul pada masa itu juga hanya ulama-ulama tasawuf dan tokoh-tokoh
tarekat. Hampir tidak ditemukan nama-nama ulama fiqih, hadits, tafsir, dan yang lainnya. Di Aceh dan Sumatera misalnya,
muncul beberapa ulama nusantara kenamaan, seperti Syaikh Hamzah
Fansuri, Syaikh Abdurrauf Singkel, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Syaikh
Syamsuddin As-Sumatrani, Abdusshamad Al-Falimbani yang nota bene semua
adalah ulama tasawuf dan tokoh tarekat tertentu. Di Jawa juga muncul
beberapa ulama seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Siti Jenar
dengan kelompok wali songonya, yang juga dapat dikatakan sebagai tokoh
tasawuf dan penganut tarekat tertentu. Begitu juga di Sulawesi dan
Kalimantan, terdapat nama-nama besar ulama tasawuf dan tokoh-tokoh
tarekat. Misalnya, Syaikh Yusuf al-Makassari, Syaikh Arsyad al-Banjari,
dan Syaikh Ahmad Khatib Syambas. Mereka telah belajar cukup lama di
kawasan dunia Islam, dan pulang ke tanah air sebagai tokoh tasawuf dan
tarekat.”
9
Salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh umat Islam
saat ini adalah terjadinya hegemoni konsep keilmuan Barat dalam studi
Islam di Perguruan Tinggi. Lebih jauh tentang fenomena ini lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal (Jakarta: GIP, 2005) dan Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006).
http://insists.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar