Kamis, 20 Desember 2012

HUBUNGAN DIPLOMATIK

1. Pengertian Hubungan Diplomatik
Pengertian mengenai apa persisnya suatu misi diplomatik dan hubungan diplomatik tidaklah tercantum secara eksplisit dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Hal ini tidak mengherankan, sebab bila kita membaca secara keseluruhan isi konvensi tersebut dapat kita simpulkan bahwa konvensi ini memang tidaklah dimaksudkan untuk memberikan penjelasan yang normatif mengenai pengertian – pengertian umum akan tetapi lebih mengarah ke aspek teknis bagaimana suatu hubungan diplomatik itu seharusnya berlangsung dalam aktivitas masyarakat internasional saat ini.

Alih – alih memberikan pengertian yang normatif mengenai apa itu misi diplomatik, Pasal 2 konvensi ini hanya menyatakan syarat – syarat terbentuknya suatu hubungan diplomatic itu sendiri, yaitu :
“The establishment of diplomatic relations between States, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent”. (yang secara bebas penulis terjemahkan : pembentukan hubungan diplomatik antar negara, dan oleh misi diplomatik yang permanen, dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama (para pihak)).

Berdasarkan pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa...
kesepakatan bersama (mutual consent) merupakan syarat mutlak berdirinya suatu hubungan diplomatik, baik oleh antar negara maupun oleh suatu misi diplomatik yang permanen. Akan tetapi, hal lain yang perlu diperhatikan di sini bahwa berdasarkan pasal ini pula penulis mencoba memberikan gambaran mengenai perbedaan antara misi diplomatik dan hubungan diplomatik.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa hubungan diplomatik antar negara dengan negara dilakukan oleh suatu misi diplomatik yang permanen. Jadi, penulis mengambil kesimpulan bahwa jika hubungan diplomatik antar negara diartikan sebagai “the Conduct by Government officials of negotiations and other relations between nations..” (yang secara bebas berarti tindakan oleh pemerintah secara resmi yang terkait dengan negosiasi dan hubungan lainnya antar negar), maka salah satu bentuk nyata dalam pelaksanaan hubungan tersebut dalam praktek negara – negara yaitu melalui pembentukan misi diplomatik yang permanen.

2. Berlakunya Hubungan Diplomatik :

Sejarah telah membuktikan bahwa penempatan wakil – wakil suatu negara kepada negara asing ini sudah dipelopori oleh beberapa republic di Italia (di antara mereka sendiri) dan pada abad ke 15 Republik Italia menempatkan wakilnya di beberapa negara seperti Spanyol, Jerman, Prancis, dan Inggris. Contoh tersebut diikuti oleh negara – negara lain sehingga pada akhir abad ke 17, penempatan wakil – wakil tetap ini sudah menjadi kebiasaan umum di Eropa.

Suatu negara yang berdaulat mempunyai hak penuh untuk mengirimkan perwakilan diplomatik ataupun wakil – wakil konsulernya ke negara lain dan berkewajiban untuk menerima perwakilan diplomatik maupun konsuler dari negara – negara berdaulat lainnya. Hak untuk mewakili dan diwakili tersebut pada hakikatnya merupakan suatu atribut dari negara yang berdaulat penuh. Namun, untuk mulai membuka hubungan diplomatik tetap harus memperhatikan, antara lain :

a.Hak Legalasi
Hak legalasi adalah hak pembukaan hubungan diplomatik yang membutuhkan persetujuan dari kedua belah pihak. Hak ini dapat diwujudkan dalam bentuk persetujuan tertulis (tetapi tidak terlalu diperlukan) dan bahkan dapat dilakukan secara informal. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sebelumnya, hak ini sebenarnya merupakan perwujudan kedaulatan negara yang berdaulat penuh akan tetapi karena menyangkut pula kedaulatan negara lain yang sama penuhnya maka dibutuhkan adanya persetujuan kedua belah pihak.

b.Syarat – Syarat Pembentukan Perwakilan Diplomatik ;
Secara garis besar, ada dua syarat pembentukan suatu perwakilan diplomatik, yaitu :
1.Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak
Hal ini secara eksplisit sudah dinyatakan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961, yang menyatakan bahwa pembentukan hubungan diplomatik antar negara harus dilakukan dengan persetujuan bersama. Persetujuan bersama tersebut dituangkan dalam bentuk persetujuan bersama (joint agreement), komunikasi bersama (joint communication), atau pernyataan bersama (joint declaration).

2.Harus berdasarkan prinsip – prinsip hukum internasional yang berlaku.Setiap negara dapat melakukan hubungan atau pertukaran perwakilan diplomatik didasarkan prinsip – prinsip hukum yang berlaku dan prinsip timbal balik (resiprositas). Hal ini ditegaskan oleh Von Glahn dalam bukunya Law Among Nations yang mengatakan bahwa :
“Dasar hukum setiap hubungan diplomatik adalah harus ada persetujuan dari negara penerima, perwakilan asing tersebut, negara penerima harus meletakkan ketentuan – ketentuan yang mengatur status hukum dan kegiatan diplomatik asing yang bersangkutan. Ketentuan mana harus dilandasi dengan prinsip – prinsip hukum internasional yang berlaku.

PANGKAT / PENGGOLONGAN PEJABAT DIPLOMATIK
1.Kepala Misi
Sesuai dengan Konvensi Wina 1961, sebelum pengiriman calon kepala misi diplomatik harus ada persetujuan dari negara penerima terlebih dahulu. Hal ini dituangkan dalam Pasal 12 konvensi tersebut. Berkaitan dengan proses persetujuan pengangkatan kepala misi diplomatik, biasanya juga ditetapkan kepangkatannya. Mengenai masalah kepangkatan kepala misi diplomatik, diatur dalam Pasal 14 Konvensi Wina 1961, yaitu :
1. Heads of mission are divided into three classes, namely:
(a) that of ambassadors or nuncios accredited to Heads of State, and other heads of mission of equivalent rank;
(b) that of envoys, ministers and internuncios accredited to Heads of State;
(c) that of charges d'affaires accredited to Ministers for Foreign Affairs.
2. Except as concerns precedence and etiquette, there shall be no differentiation between heads of mission by reason of their class.

Berdasarkan pasal di atas terlihat bahwa meskipun ada pembagian kelas dari segi pengangkatan, namun dari segi pangkat ketiga kelas tersebut kedudukannya sama saja, yaitu sama – sama kepala misi diplomatik.

2.Anggota Staff dan Personel
Sedikit berbeda dengan pengangkatan kepala misi diplomatik, seorang pejabat atau staf perwakilan tidak memerlukan persetujuan dari negara penerima. Negara pengirim hanya perlu memberitahukan kepada negara penerima tentang siapa yang akan dikirim. Pejabat – pejabat tersebut terdiri atas beberapa golongan, antara lain :
a.Staf diplomatik (members of mission), terdiri dari :
Kepala perwakilan, minister, minister counselor, counselor, sekretaris I, sekretaris II, sekretaris III, dan atase – atase.
b.Anggota staf diplomatik (members of the staff if mission), terdiri dari :
Staf administratif dan teknis, juru bahasa, dokter, penasihat hukum, sekretaris – sekretaris dalam jabatan – jabatan tertentu, kepala bagian arsip, bagian code, dan lain – lain.
c.Staf dari anggota staf diplomatik (members of the diplomatic staff), terdiri dari :
Bukan pegawai – pegawai diplomatik pribadi. Seperti sopir dan pengatur rumah tangga yang dipekerjakan langsung oleh perwakilan, tidak oleh pribadi.


3.Korps Diplomatik

Dalam negara penerima berkumpul wakil – wakil dari berbagai negara yang disebut korps diplomatik (corps diplomatique), yaitu keseluruhan wakil – wakil diplomatik negara – negara asing di suatu negara. Korps diplomatik bukan merupakan badan tersendiri yang bertindak dalam hukum. Menurut hukum, korps diplomatik bukanlah merupakan suatu kesatuan, akan tetapi, bila terjadi suatu kasus pelik yang terjadi menyangkut seorang atau beberapa orang wakil diplomatik baik dari satu maupun lebih negara, para wakil diplomatik bersama – sama (dalam kerangka korps diplomatik) dapat ‘melapor’ kepada kepala negara penerima atau pemerintah negara penerima. Misalnya, apabila merasa kepentingan mereka bersama dilanggar oleh tindakan – tindakan tertentu dari pemerintah negara tersebut.

Selain itu, korps diplomatik sebagai wakil bersama bertindak sebagai kesatuan dalam berbagai upacara. Mereka mempunyai pimpinan (koordinator) sebagai ketua korps diplomatik yang disebut dean atau doyen, yang berarti ketua. Urutan yang paling penting adalah menunjuk ketua korps diplomatik. Falam hal ini dean merupakan wakil diplomatik dengan pangkat tertinggi dan paling lama di negara penerima atau wakil dalam urutan pertama. Oleh karena itu, seorang duta atau charge d’affaires tidak akan pernah menjadi dean, kecuali bila tidak ada ambassador atau duta sama sekali di negara tersebut.

PENGANGKATAN PEJABAT DIPLOMATIK

1.Kepala Misi Diplomatik

Sebagaimana telah disebutkan di atas, ada tiga klasifikasi kepala misi diplomatik berdasarkan pengangkatannya menurut Pasal 14 konvensi Wina 1961, yaitu :
a.Ambassador atau Nuncios, yang diangkat dan diakreditasikan oleh Kepala Negara dan kepala misi yang lain yang sederajat.
b.Envoys, Ministers, dan Internuncios, yang diangkat dan diakreditasikan oleh Kepala Negara.
c.Charge d’affaires, yang diangkat dan diakreditasikan oleh Menteri Luar Negeri.


2. Anggota Staf dan Personel

Adapun mengenai pengangkatan anggota staf dan personel tidak memerlukan akreditasi khusus dari Kepala Negara maupun Menteri Luar Negeri. Baik anggota staf maupun personelnya dapat diangkat langsung oleh Kepala Misi Diplomatik yang sedang menjabat maupun Kementrian Luar Negeri dari negara pengirim. Hal ini disebabkan karena tugas – tugas yang dikerjakan oleh anggota staf maupun personel enderung lebih bersifat administratif saja sehingga tidak membutuhkan suatu izin khusus.


DAFTAR PUSTAKA

Widagdo, Setyo. S.H., M.Hum., dan Hanif Nur Widhiyanti, S.H., M.Hum. 2008. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Bayu Media : Malang
Widodo, Prof. Dr. S.H., M.H..2009. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Laksbang Justitia : Jakarta
Undang – Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan. Diakses melalui www.google.com, pada tanggal 14 Februari 2010, pukul 10.54 WITA

 sumber:
http://serba-serbiceritasehari-hari.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar