Membicarakan kesehatan
masyarakat tidak terlepas dari 2 tokoh metologi Yunani, yakni Asclepius
dan Higeia. Berdasarkan cerita mitos Yunani tersebut Asclepius
disebutkan sebagai seorang dokter pertama yang tampan dan pandai
meskipun tidak disebutkan sekolah atau pendidikan apa yang telah
ditempuhnya tetapi diceritakan bahwa ia
telah dapat mengobati
penyakit dan bahkan melakukan bedah berdasarkan prosedur-prosedur
tertentu (surgical procedure) dengan baik.
Higeia, seorang
asistennya, yang kemudian diceritakan sebagai isterinya juga telah
melakukan upaya-upaya kesehatan. Beda antara Asclepius dengan Higeia
dalam pendekatan / penanganan masalah kesehatan adalah, Asclepius
melakukan pendekatan (pengobatan penyakit), setelah penyakit tersebut
terjadi pada seseorang.
Sedangkan Higeia
mengajarkan kepada pengikutnya dalam pendekatan masalah kesehatan
melalui “hidup seimbang”, menghindari makanan / minuman beracun, makan
makanan yang bergizi (baik), cukup istirahat dan melakukan olahraga.
Apabila orang yang
sudah jatuh sakit Higeia lebih menganjurkan melakukan upaya-upaya secara
alamiah untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, antara lain lebih baik
dengan memperkuat tubuhnya dengan makanan yang baik daripada dengan
pengobatan / pembedahan.
Dari cerita mitos
Yunani, Asclepius dan Higeia tersebut, akhirnya muncul 2 aliran atau
pendekatan dalam menangani masalah-masalah kesehatan. Kelompok atau
aliran pertama cenderung menunggu terjadinya penyakit (setelah sakit),
yang selanjutnya disebut pendekatan kuratif (pengobatan). Kelompok ini
pada umumnya terdiri dari dokter, dokter gigi, psikiater dan
praktisi-praktisi lain yang melakukan pengobatan penyakit baik fisik,
psikis, mental maupun sosial.
Sedangkan kelompok
kedua, seperti halnya pendekatan Higeia, cenderung melakukan upaya-upaya
pencegahan penyakit dan meningkatkan kesehatan (promosi) sebelum
terjadinya penyakit. Kedalam kelompok ini termasuk para petugas
kesehatan masyarakat lulusan-lulusan sekolah atau institusi kesehatan
masyarakat dari berbagai jenjang.
Dalam perkembangan
selanjutnya maka seolah-olah timbul garis pemisah antara kedua kelompok
profesi, yakni pelayanan kesehatan kuratif (curative health care) dan
pelayanan pencegahan atau preventif (preventive health care). Kedua
kelompok ini dapat dilihat perbedaan pendekatan yang dilakukan antara
lain sebagai berikut.
Pertama, pendekatan
kuratif pada umumnya dilakukan terhadap sasaran secara individual,
kontak terhadap sasaran (pasien) pada umumnya hanya sekali saja. Jarak
antara petugas kesehatan (dokter, drg, dan sebagainya) dengan pasien
atau sasaran cenderung jauh.
Sedangkan pendekatan
preventif, sasaran atau pasien adalah masyarakat (bukan perorangan)
masalah-masalah yang ditangani pada umumnya juga masalah-masalah yang
menjadi masalah masyarakat, bukan masalah individu. Hubungan antara
petugas kesehatan dengan masyarakat (sasaran) lebih bersifat kemitraan
tidak seperti antara dokter-pasien.
Kedua, pendekatan
kuratif cenderung bersifat reaktif, artinya kelompok ini pada umumnya
hanya menunggu masalah datang. Seperti misalnya dokter yang menunggu
pasien datang di Puskesmas atau tempat praktek. Kalau tidak ada pasien
datang, berarti tidak ada masalah, maka selesailah tugas mereka, bahwa
masalah kesehatan adalah adanya penyakit.
Sedangkan kelompok
preventif lebih mengutamakan pendekatan proaktif, artinya tidak menunggu
adanya masalah tetapi mencari masalah. Petugas kesehatan masyarakat
tidak hanya menunggu pasien datang di kantor atau di tempat praktek
mereka, tetapi harus turun ke masyarakat mencari dan mengidentifikasi
masalah yang ada di masyarakat, dan melakukan tindakan.
Ketiga, pendekatan
kuratif cenderung melihat dan menangani klien atau pasien lebih kepada
sistem biologis manusia atau pasien hanya dilihat secara parsial,
padahal manusia terdiri dari kesehatan bio-psikologis dan sosial, yang
terlihat antara aspek satu dengan yang lainnya.
Sedangkan pendekatan
preventif melihat klien sebagai makhluk yang utuh, dengan pendekatan
yang holistik. Terjadinya penyakit tidak semata-mata karena terganggunya
sistem biologi individual tetapi dalam konteks yang luas, aspek
biologis, psikologis dan sosial. Dengan demikian pendekatannya pun tidak
individual dan parsial tetapi harus secara menyeluruh atau holistik.
Perkembangan Ilmu Kesehatan MAsyarakat
Sejarah panjang
perkembangan masyarakat, tidak hanya dimulai pada munculnya ilmu
pengetahuan saja melainkan sudah dimulai sebelum berkembangnya ilmu
pengetahuan modern. Oleh sebab itu, akan sedikit diuraikan perkembangan
kesehatan masyarakat sebelum perkembangan ilmu pengetahuan
(pre-scientific period) dan sesudah ilmu pengetahuan itu berkembang
(scientific period).
Periode Sebelum Ilmu Pengetahuan
Dari kebudayaan yang
paling luas yakni Babylonia, Mesir, Yunani dan Roma telah tercatat bahwa
manusia telah melakukan usaha untuk menanggulangi masalah-masalah
kesehatan masyarakat dan penyakit. Telah ditemukan pula bahwa pada zaman
tersebut tercatat dokumen-dokumen tertulis, bahkan peraturan-peraturan
tertulis yang mengatur tentang pembuangan air limbah atau drainase
pemukiman pembangunan kota, pengaturan air minum, dan sebagainya.
Pada zaman ini juga
diperoleh catatan bahwa telah dibangun tempat pembuangan kotoran
(latrin) umum, meskipun alasan dibuatnya latrine tersebut bukan karena
kesehatan. Dibangunnya latri umum pada saat itu bukan karena tinja atau
kotoran manusia dapat menularkan penyakit tetapi tinja menimbulkan bau
tak enak dan pandangan yang tidak menyedapkan.
Demikian juga
masyarakat membuat sumur pada waktu itu dengan alasan bahwa minum air
kali yang mengalir sudah kotor itu terasa tidak enak, bukan karena minum
air kali dapat menyebabkan penyakit (Greene, 1984).
Dari dokumen lain
tercatat bahwa pada zaman Romawi kuno telah dikeluarkan suatu peraturan
yang mengharuskan masyarakat mencatatkan pembangunan rumah, melaporkan
adanya binatang-binatang yang berbahaya, dan binatang-binatang piaraan
yang menimbulkan bau, dan sebagainya.
Bahkan pada waktu itu
telah ada keharusan pemerintah kerajaan untuk melakukan supervisi atau
peninjauan kepada tempat-tempat minuman (public bar), warung makan,
tempat-tempat prostitusi dan sebagainya (Hanlon, 1974).
Kemudian pada
permulaan abad pertama sampai kira-kira abad ke-7 kesehatan masyarakat
makin dirasakan kepentingannya karena berbagai macam penyakit menular
mulai menyerang sebagian besar penduduk dan telah menjadi epidemi bahkan
di beberapa tempat telah menjadi endemi.
Penyakit kolera telah
tercatat sejak abad ke-7 menyebar dari Asia khususnya Timur Tengah dan
Asia Selatan ke Afrika. India disebutkan sejak abad ke-7 tersebut telah
menjadi pusat endemi kolera. Disamping itu lepra juga telah menyebar
mulai dari Mesir ke Asia Kecil dan Eropa melalui para emigran.
Upaya-upaya untuk
mengatasi epidemi dan endemi penyakit-penyakit tersebut, orang telah
mulai memperhatikan masalah lingkungan, terutama hygiene dan sanitasi
lingkungan. Pembuangan kotoran manusia (latrin), pengusahaan air minum
yang bersih, pembuangan sampah, ventilasi rumah telah tercatat menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Pada abad ke-14 mulai
terjadi wabah pes yang paling dahsyat, di China dan India. Pada tahun
1340 tercatat 13.000.000 orang meninggal karena wabah pes, dan di India,
Mesir dan Gaza dilaporkan bahwa 13.000 orang meninggal tiap hari karena
pes.
Menurut catatan,
jumlah meninggal karena wabah pes di seluruh dunia waktu itu mencapai
lebih dari 60.000.000 orang. Oleh sebab itu waktu itu disebut “the Black
Death”. Keadaan atau wabah penyakit-penyakit menular ini berlangsung
sampai menjelang abad ke-18. Disamping wabah pes, wabah kolera dan tipus
masih berlangsung.
Telah tercatat bahwa
pada tahun 1603 lebih dari 1 diantara 6 orang meninggal, dan pada tahun
1663 sekitar 1 diantara 5 orang meninggal karena penyakit menular. Pada
tahun 1759, 70.000 orang penduduk kepulauan Cyprus meninggal karena
penyakit menular. Penyakit-penyakit lain yang menjadi wabah pada waktu
itu antara lain difteri, tipus, disentri dan sebagainya.
Dari catatan-catatan
tersebut di atas dapat dilihat bahwa masalah kesehatan masyarakat
khususnya penyebaran-penyebaran penyakit menular sudah begitu meluas dan
dahsyat, namun upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat secara
menyeluruh belum dilakukan oleh orang pada zamannya.
Periode Ilmu Pengetahuan
Bangkitnya ilmu
pengetahuan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 mempunyai dampak
yang luas terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk kesehatan.
Kalau pada abad-abad sebelumnya masalah kesehatan khususnya penyakit
hanya dilihat sebagai fenomena biologis dan pendekatan yang dilakukan
hanya secara biologis yang sempit, maka mulai abad ke-19 masalah
kesehatan adalah masalah yang kompleks. Oleh sebab itu pendekatan
masalah kesehatan harus dilakukan secara komprehensif, multisektoral.
Disamping itu pada
abad ilmu pengetahuan ini juga mulai ditemukan berbagai macam penyebab
penyakit dan vaksin sebagai pencegah penyakit. Louis Pasteur telah
berhasil menemukan vaksin untuk mencegah penyakit cacar, Joseph Lister
menemukan asam carbol (carbolic acid) untuk sterilisasi ruang operasi
dan William Marton menemukan ether sebagai anestesi pada waktu operasi.
Penyelidikan dan
upaya-upaya kesehatan masyarakat secara ilmiah mulai dilakukan pada
tahun 1832 di Inggris. Pada waktu itu sebagian besar rakyat Inggris
terserang epidemi (wabah) kolera, terutama terjadi pada masyarakat yang
tinggal di perkotaan yang miskin. Kemudian parlemen Inggris membentuk
komisi untuk penyelidikan dan penanganan masalah wabah kolera ini.
Edwin Chadwich seorang
pakar sosial (social scientist) sebagai ketua komisi ini akhirnya
melaporkan hasil penyelidikannya sebagai berikut : Masyarakat hidup di
suatu kondisi sanitasi yang jelek, sumur penduduk berdekatan dengan
aliran air kotor dan pembuangan kotoran manusia. Air limbah yang
mengalir terbuka tidak teratur, makanan yang dijual di pasar banyak
dirubung lalat dan kecoa. Disamping itu ditemukan sebagian besar
masyarakat miskin, bekerja rata-rata 14 jam per hari, dengan gaji yang
dibawah kebutuhan hidup. Sehingga sebagian masyarakat tidak mampu
membeli makanan yang bergizi.
Laporan Chadwich ini
dilengkapi dengan analisis data statistik yang bagus dan sahih.
Berdasarkan laporan hasil penyelidikan Chadwich ini, akhirnya parlemen
mengeluarkan undang-undang yang isinya mengatur upaya-upaya peningkatan
kesehatan penduduk, termasuk sanitasi lingkungan, sanitasi tempat-tempat
kerja, pabrik dan sebagainya. Pada tahun 1848, John Simon diangkat oleh
pemerintah Inggris untuk menangani masalah kesehatan penduduk
(masyarakat).
Pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20 mulai dikembangkan pendidikan untuk tenaga kesehatan
yang profesional. Pada tahun 1893 John Hopkins, seorang pedagang wiski
dari Baltimore Amerika mempelopori berdirinya universitas dan didalamnya
terdapat sekolah (Fakultas) Kedokteran.
Mulai tahun 1908
sekolah kedokteran mulai menyebar ke Eropa, Canada dan sebagainya. Dari
kurikulum sekolah-sekolah kedokteran tersebut terlihat bahwa kesehatan
masyarakat sudah diperhatikan. Mulai tahun kedua para mahasiswa sudah
mulai melakukan kegiatan penerapan ilmu di masyarakat.
Pengembangan kurikulum
sekolah kedokteran sudah didasarkan kepada suatu asumsi bahwa penyakit
dan kesehatan itu merupakan hasil interaksi yang dinamis antara faktor
genetik, lingkungan fisik, lingkungan sosial (termasuk kondisi kerja),
kebiasaan perorangan dan pelayanan kedokteran / kesehatan.
Dari segi pelayanan
kesehatan masyarakat, pada tahun 1855 pemerintah Amerika telah membentuk
Departemen Kesehatan yang pertama kali. Fungsi departemen ini adalah
menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penduduk (public), termasuk
perbaikan dan pengawasan sanitasi lingkungan.
Departemen kesehatan
ini sebenarnya merupakan peningkatan departemen kesehatan kota yang
telah dibentuk di masing-masing kota, seperti Baltimor telah terbentuk
pada tahun 1798, South Carolina tahun 1813, Philadelphia tahun 1818, dan
sebagainya.
Pada tahun 1872 telah
diadakan pertemuan orang-orang yang mempunyai perhatian kesehatan
masyarakat baik dari universitas maupun dari pemerintah di kota New
York. Pertemuan tersebut menghasilkan Asosiasi Kesehatan Masyarakat
Amerika (American Public Health Association).
Perkembangan di Indonesia
Sejarah perkembangan
kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak pemerintahan Belanda
pada abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu
dimulai dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera yang sangat
ditakuti masyarakat pada waktu itu.
Kolera masuk di
Indonesia tahun 1927 dan tahun 1937 terjadi wabah kolera eltor di
Indonesia kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia melalui
Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berawal dari wabah
kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan
upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Namun demikian di
bidang kesehatan masyarakat yang lain pada tahun 1807 pada waktu
pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan pelatihan dukun
bayi dalam praktek persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka
penurunan angka kematian bayi yang tinggi pada waktu itu.
Akan tetapi upaya ini
tidak berlangsung lama karena langkanya tenaga pelatih kebidanan
kemudian pada tahun 1930 dimulai lagi dengan didaftarnya para dukun bayi
sebagai penolong dan perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun
1952 pada zaman kemerdekaan pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut
dilaksanakan lagi.
Pada tahun 1851
sekolah dokter Jawa didirikan oleh dr. Bosch, kepala pelayanan kesehatan
sipil dan militer dan dr. Bleeker di Indonesia. Kemudian sekolah ini
terkenal dengan nama STOVIA (School Tot Oplelding Van Indiche Arsten)
atau sekolah untuk pendidikan dokter pribumi. Setelah itu pada tahun
1913 didirikan sekolah dokter yang kedua di Surabaya dengan nama NIAS
(Nederland Indische Arsten School).
Pada tahun 1927,
STOVIA berubah menjadi sekolah kedokteran dan akhirnya sejak berdirinya
Universitas Indonesia tahun 1947 berubah menjadi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Kedua sekolah tersebut mempunyai andil yang
sangat besar dalam menghasilkan tenaga-tenaga (dokter-dokter) yang
mengembangkan kesehatan masyarakat Indonesia.
Tidak kalah pentingnya
dalam mengembangkan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah berdirinya
Pusat Laboratorium Kedokteran di Bandung pada tahun 1888. Kemudian pada
tahun 1938, pusat laboratorium ini berubah menjadi Lembaga Eykman dan
selanjutnya disusul didirikan laboratorium lain di Medan, Semarang,
Makassar, Surabaya dan Yogyakarta.
Laboratorium-laboratorium
ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka menunjang
pemberantasan penyakit seperti malaria, lepra, cacar dan sebagainya
bahkan untuk bidang kesehatan masyarakat yang lain seperti gizi dan
sanitasi.
Pada tahun 1922 pes
masuk Indonesia dan pada tahun 1933, 1934 dan 1935 terjadi epidemi di
beberapa tempat, terutama di pulau Jawa. Kemudian mulai tahun 1935
dilakukan program pemberantasan pes ini dengan melakukan penyemprotan
DDT terhadap rumah-rumah penduduk dan juga vaksinasi massal. Tercatat
pada tahun 1941, 15.000.000 orang telah memperoleh suntikan vaksinasi.
Pada tahun 1925,
Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda melakukan
pengamatan terhadap masalah tingginya angka kematian dan kesakitan di
Banyumas-Purwokerto pada waktu itu. Dari hasil pengamatan dan
analisisnya tersebut ini menyimpulkan bahwa penyebab tingginya angka
kematian dan kesakitan ini adalah karena jeleknya kondisi sanitasi
lingkungan.
Masyarakat pada waktu
itu membuang kotorannya di sembarang tempat, di kebun, selokan, kali
bahkan di pinggir jalan padahal mereka mengambil air minum juga dari
kali. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa kondisi sanitasi lingkungan ini
disebabkan karena perilaku penduduk.
Oleh sebab itu, untuk
memulai upaya kesehatan masyarakat, Hydrich mengembangkan daerah
percontohan dengan melakukan propaganda (pendidikan) penyuluhan
kesehatan. Sampai sekarang usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Memasuki zaman
kemerdekaan, salah satu tonggak penting perkembangan kesehatan
masyarakat di Indonesia adalah diperkenalkannya Konsep Bandung (Bandung
Plan) pada tahun 1951 oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah, yang
selanjutnya dikenal dengan Patah-Leimena.
Dalam konsep ini mulai
diperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif
dan preventif tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti dalam
mengembangkan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia kedua aspek ini
tidak boleh dipisahkan, baik di rumah sakit maupun di puskesmas.
Selanjutnya pada tahun
1956 dimulai kegiatan pengembangan kesehatan sebagai bagian dari upaya
pengembangan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1956 ini oleh dr. Y.
Sulianti didirikan Proyek Bekasi (tepatnya Lemah Abang) sebagai proyek
percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan masyarakat
pedesaan di Indonesia dan sebagai pusat pelatihan tenaga kesehatan.
Proyek ini disamping
sebagai model atau konsep keterpaduan antara pelayanan kesehatan
pedesaan dan pelayanan medis, juga menekankan pada pendekatan tim dalam
pengelolaan program kesehatan.
Untuk melancarkan
penerapan konsep pelayanan terpadu ini terpilih 8 desa wilayah
pengembangan masyarakat yaitu Inderapura (Sumatera Utara), Lampung,
Bojong Loa (Jawa Barat), Sleman (Jawa Tengah), Godean (Yogyakarta),
Mojosari (Jawa Timur), Kesiman (Bali) dan Barabai (Kalimantan Selatan).
Kedelapan wilayah tersebut merupakan cikal bakal sistem puskesmas
sekarang ini.
Pada bulan November
1967, dilakukan seminar yang membahas dan merumuskan program kesehatan
masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia.
Pada waktu itu dibahas konsep puskesmas yang dibawakan oleh dr. Achmad
Dipodilogo yang mengacu kepada konsep Bandung dan Proyek Bekasi.
Kesimpulan seminar ini adalah disepakatinya sistem puskesmas yang
terdiri dari tipe A, B, dan C.
Dengan menggunakan
hasil-hasil seminar tersebut, Departemen Kesehatan menyiapkan rencana
induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia. Akhirnya pada tahun 1968
dalam rapat kerja kesehatan nasional, dicetuskan bahwa puskesmas adalah
merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan
oleh pemerintah (Departemen Kesehatan) menjadi Pusat Pelayanan
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Puskesmas disepakati
sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif
dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau dalam
wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan, di kotamadya atau
kabupaten.
Kegiatan pokok puskesmas mencakup :
1. Kesehatan ibu dan anak
2. Keluarga berencana
3. Gizi
4. Kesehatan lingkungan
5. Pencegahan penyakit menular
6. Penyuluhan kesehatan masyarakat
7. Pengobatan
8. Perawatan kesehatan masyarakat
9. Usaha kesehatan gizi
10 Usaha kesehatan sekolah
11 Usaha kesehatan jiwa
12 Laboratorium
13 Pencatatan dan pelaporan
Pada tahun 1969,
sistem puskesmas hanya disepakati 2 saja, yakni tipe A dan B dimana tipe
A dikelola oleh dokter sedangkan tipe B hanya dikelola oleh paramedis.
Dengan adanya perkembangan tenaga medis maka akhirnya pada tahun 1979
tidak diadakan perbedaan puskesmas tipe A atau tipe B, hanya ada satu
tipe puskesmas yang dikepalai oleh seorang dokter.
Pada tahun 1979 juga
dikembangkan 1 piranti manajerial guna penilaian puskesmas yakni
stratifikasi puskesmas sehingga dibedakan adanya :
1. Strata 1 : puskesmas dengan prestasi sangat baik
2. Strata 2 : puskesmas dengan prestasi rata-rata atau standar
3. Strata 3 : puskesmas dengan prestasi dibawah rata-rata
Selanjutnya puskesmas
juga dilengkapi dengan 2 piranti manajerial yang lain, yakni micro
planning untuk perencanaan dan lokakarya mini (Lokmin) untuk
pengorganisasian kegiatan dan pengembangan kerjasama tim. Akhirnya pada
tahun 1984 tanggung jawab puskesmas ditingkatkan lagi dengan
berkembangnya program paket terpadu kesehatan dan keluarga berencana
(Posyandu).
Program ini mencakup :
1. Kesehatan ibu dan anak
2. Keluarga berencana
3. Gizi
4. Penanggulangan penyakit diare
5. Imunisasi
Puskesmas mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan Posyandu di wilayah kerjanya masing-masing.
Definisi Kesehatan Masyarakat
Sudah banyak para ahli
kesehatan membuat batasan kesehatan masyarakat ini. Secara kronologis
batasan-batasan kesehatan masyarakat mulai dengan batasan yang sangat
sempit sampai batasan yang luas seperti yang kita anut saat ini dapat
diringkas sebagai berikut.
Batasan yang paling
tua, dikatakan bahwa kesehatan masyarakat adalah upaya-upaya untuk
mengatasi masalah-masalah sanitasi yang mengganggu kesehatan. Dengan
kata lain kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Upaya untuk
memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan adalah merupakan
kegiatan kesehatan masyarakat.
Kemudian pada akhir
abad ke-18 dengan diketemukan bakter-bakteri penyebab penyakit dan
beberapa jenis imunisasi, kegiatan kesehatan masyarakat adalah
pencegahan penyakit yang terjadi dalam masyarakat melalui perbaikan
sanitasi lingkungan dan pencegahan penyakit melalui imunisasi.
Pada awal abad ke-19,
kesehatan masyarakat sudah berkembang dengan baik, kesehatan masyarakat
diartikan suatu upaya integrasi antara ilmu sanitasi dengan ilmu
kedokteran. Sedangkan ilmu kedokteran itu sendiri merupakan integrasi
antara ilmu biologi dan ilmu sosial. Dalam perkembangan selanjutnya,
kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi dan kegiatan terpadu
antara sanitasi dan pengobatan (kedokteran) dalam mencegah penyakit yang
melanda penduduk atau masyarakat.
Oleh karena masyarakat
sebagai objek penerapan ilmu kedokteran dan sanitasi mempunyai aspek
sosial ekonomi dan budaya yang sangat kompleks. Akhirnya kesehatan
masyarakat diartikan sebagai aplikasi keterpaduan antara ilmu
kedokteran, sanitasi, dan ilmu sosial dalam mencegah penyakit yang
terjadi di masyarakat.
Dari
pengalaman-pengalaman praktek kesehatan masyarakat yang telah berjalan
sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan
kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih relevan sebagai berikut :
kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni mencegah
penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan melalui
usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk :
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Pemberantasan penyakit-penyakit menular
c. Pendidikan untuk kebersihan perorangan
d. Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis
dini dan pengobatan
e. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi
kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Dari batasan tersebut
tersirat bahwa kesehatan masyarakat adalah kombinasi antara teori (ilmu)
dan praktek (seni) yang bertujuan untuk mencegah penyakit,
memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan penduduk (masyarakat).
Ketiga tujuan tersebut sudah barang tentu saling berkaitan dan mempunyai
pengertian yang luas. Untuk mencapai ketiga tujuan pokok tersebut,
Winslow mengusulkan cara atau pendekatan yang dianggap paling efektif
adalah melalui upaya-upaya pengorganisasian masyarakat.
Pengorganisasian
masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan kesehatan masyarakat
pada hakekatnya adalah menghimpun potensi masyarakat atau sumber daya
(resources) yang ada didalam masyarakat itu sendiri untuk upaya-upaya
preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif kesehatan mereka sendiri.
Pengorganisasian
masyarakat dalam bentuk penghimpunan dan pengembangan potensi dan
sumber-sumber daya masyarakat dalam konteks ini pada hakekatnya adalah
menumbuhkan, membina dan mengembangkan partisipasi masyarakat di bidang
pembangunan kesehatan.
Menumbuhkan
partisipasi masyarakat tidaklah mudah, memerlukan pengertian, kesadaran,
dan penghayatan oleh masyarakat terhadap masalah-masalah kesehatan
mereka sendiri, serta upaya-upaya pemecahannya. Untuk itu diperlukan
pendidikan kesehatan masyarakat melalui pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat. Jadi pendekatan utama yang diajukan oleh
Winslow dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kesehatan masyarakat
sebenarnya adalah salah satu strategi atau pendekatan pendidikan
kesehatan.
Selanjutnya Winslow
secara implisit mengatakan bahwa kegiatan kesehatan masyarakat itu
mencakup a) sanitasi lingkungan b) pemberantasan penyakit c) pendidikan
kesehatan (higiene) d) manajemen (pengorganisasian) pelayanan kesehatan
dan e) pengembangan rekayasa sosial dalam rangka pemeliharaan kesehatan
masyarakat.
Dari 5 bidang kegiatan
kesehatan masyarakat tersebut, 2 kegiatan diantaranya yakni kegiatan
pendidikan higiene dan rekayasa sosial adalah menyangkut kegiatan
pendidikan kesehatan. Sedangkan kegiatan bidang sanitasi, pemberantasan
penyakit dan pelayanan kesehatan sesungguhnya tidak sekedar penyediaan
sarana fisik, fasilitas kesehatan dan pengobatan saja tetapi perlu upaya
pemberian pengertian dan kesadaran kepada masyarakat tentang manfaat
serta pentingnya upaya-upaya atau fasilitas fisik tersebut dalam rangka
pemeliharaan, peningkatan dan pemulihan kesehatan mereka. Apabila tidak
disertai dengan upaya-upaya ini maka sarana-sarana atau fasilitas
pelayanan tersebut tidak atau kurang berhasil serta optimal.
Batasan lain
disampaikan oleh Ikatan Dokter Amerika (1948). Kesehatan masyarakat
adalah ilmu dan seni memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan
masyarakat melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat. Batasan ini
mencakup pula usaha-usaha masyarakat dalam pengadaan pelayanan
kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit.
Dari perkembangan
batasan kesehatan masyarakat seperti tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa kesehatan masyarakat itu meluas dari hanya berurusan sanitasi,
teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu kedokteran pencegahan
sampai dengan ilmu sosial dan itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat
Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003. (AZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar